Jumat, 15 Februari 2008

mahasiswa


Mahasiswa adalah orang yang memiliki klas social yang berderajat tinggi dalam komunitas tersendiri. Mahasiswa, maha tinggi diantara siswa-siswa atau tingkatan pelajar-pelajar lainnya. Secara kompetensi pendidikan, bisa benar kalau mahasiswa itu adalah mahanya para siswa-siswa. Dilihat dari sistim pendidikan, kurikulum, dan ruang lingkup kompetensi yang sudah cenderung terorientasi. Sehingga tingkat keilmuan dan intelektualitasnya lebih menonjol dibanding para siswa.

Maka demikian wajarlah sebutan mahasiswa itu selalu menjadi incaran para politisi untuk terlibat menyuarakan kekuasaan politisi dimasyarakat secara luas. Untuk mahasiswa supaya tidak terjebak lebih jauh, sebaiknya mari kita menghangatkan lagi memori fitrah mahasiswa itu sendiri. Dimana keterlibatan mahasiswa dalam arena politik nasional maupun local adalah student movement yang mengedepankan political movement moralisme (gerakan politik bermoral).

A. Sejarah Singkat Gerakan Mahasiswa

Secara Nasional, posisi mahasiswa sebagai oposisi ad hoc non parlemen atau sering dibilang dengan istilah parlemen jalanan. Dimana menyuarakan kepentingan rakyat melalui mimbar bebas dijalanan.

Secara umum, aspirasi mahasiswa selalu berpihak pada kepentingan rakyat secara luas, walaupun tidak dapat dipungkiri, gerakan mahasiswa itu terkadang bermuatan politik praktis, yang seharusnya peran mahasiswa sebagai oposisi ad hoc memainkan moralitas political movement (Gerakan Politik Bermoral). Sadar atau tidak sadar, ada sebagian besar kelompok yang menikmati manuver-manuver mahasiswa tersebut. Tapi itulah resiko perjuangan, karena mahasiswa bergerak bukan diruang yang kosong, melainkan ruang kekuasaan politik yang menjadi incaran para petualang politik.

Secara singkat ada dua tahap revolusi demokratik yang dimainkan mahasiswa ditingkatan nasional, pada kekuasaa politik Indonesia. Puncak revolusi mei 1998 adalah penggulingan Jenderal Besar (purn) Soeharto, didahului oleh pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa Indonesia. Namun, revolusi mei 1998 hanyalah awal dari tahap pertama (first strage) revolusi demokrasi yang dipelopori gerakan mahasiswa. Tahap pertama revolusi demokrasi ini merupakan tahap pembongkaran kesadaran massa dan mahasiswa terhadap struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menindas atau eksploitatif.

Proses pembentukkan tahap pertama revolusi demokrasi ini berlangsung sepanjang sejarah rezim Orde baru (ditandai sejumlah “puncak” perlawanan gerakan mahasiswa 1974, 1987,1989, dan 1998). Peran oposisi adhoc gerakan mahasiswa merupakan peran historis yang dipaksakan secara struktural oleh rezim Orde baru yang menjalankan satu jenis faasisme baru yaitu fasisme pembangunan (developmental fascism). Peran ini menjadi permanen sepanjang sejarah rezim Orde baru karena diberangusnya semua kekuatan oposisi formal (dalam kondisi demokrasi merupakan peran partai politik) dan ditundukkannya masyarakat sipil secara korporatis-fasistis, maupun melalui kekerasan terbuka.

Peran oposisi adhoc ini kembali dijalankan gerakan mahasiswa dibawah rezim Abdurrahman Wahid karena; Pertama: agenda reformasi total tidak dilaksanakan oleh semua lembaga politik baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif; kedua: tidak ada satupun partai politik yang menegaskan kekuatan politik oposisional dan memperjuangkan pelaksanaan agenda reformasi total tanpa kompromi politik dengan rezim Orde baru; ketiga: semua partai politik peserta pemilu 1999 (48 parpol) adalah legitimator UU pemilu yang cacat demokrasi karena mensyahkan keberadaan TNI/POLRI di legislatif (DPR/MPR, DPRD I dan DPRD II) dan keikutsertaan partai Golongan Karya dalam pemilu tanpa pertanggungjawaban hukum terhadap kejahatan politik, ekonomi dan HAM sepanjang 32 tahun rezim Orde baru. Dengan demikian semua partai politik berkhianat terhadap agenda reformasi total dan revolusi demokrasi, karena menjadi kolaborator politik rezim Orde baru .

Tahap pertama revolusi demokrasi ini berawal pada tergulingnya Jenderal Besar (purn) Soeharto dan berakhir pada pelaksanaan seluruh agenda reformasi total. Bila seluruh agenda reformasi total dijalankan maka terbentuklah demokrasi politik demokrasi/reformasi total terhadap politik anti-demokrasi/anti reformasi total. Oleh karena agenda reformasi total belum dijalankan hingga rezim Abdurrahman Wahid, maka gerakan mahasiswapun terus menerus menjalankan oposisi adhoc-nya. Dapat dicatat dengan sejumlah “puncak lain” selain Mei 1998 (pendudukan DPR/MPR dan penggulingan Soeharto), November 1998 (Semanggi I, penolakan terhadap SI MPR), September 1999 (Semanggi II, Penolakan terhadap UU Penanggulangan Keadaan Bahaya), Oktober 1999 (Penolakan terhadap Habibie dan Wiranto), Januari 2001 (tuntutan terhadap penurunan Abdurrahman Wahid serta pembubaran dan pengadilan Partai Golkar).

Dalam skala waktu,tidak dapat ditetapkan kapan tahap pertama revolusi demokrasi atau pelaksanaan agenda reformasi total berakhir. Bukan tidak mungkin, bahkan rezim berikutnyapun yang dianggap pemilu yang cacat demokrasi, tidak akan mampu dan mau menyelesaikan tahap pertama revolusi demokrasi tersebut. Tetapi secara teoritis, tahap kedua (second stage) dari revolusi demokrasi dapat diawali bila semua agenda reformasi total sudah dijalankan. Tahap kedua ini merupakan tahap pembongkaran struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menindas atau eksploitatif. Pada tahap kedua inilah pemantapan dan pengembangan demokrasi dijalankan melalui proses konsolidasi dan pendalaman demokrasi. Tetapi hingga rezim SBY-MJK sekarang, revolusi demokratik itu belum selesai, di satu sisi kekuatan mahasiswa sudah terpolarisasi ke gerakan politik kekuasaan, bukan politik nilai yang mengedepankan nilai-nilai moralitas kekuatan oposisi ad hoc. Maka tahap kedua untuk revolusi demokratik menuju demokrasi / reformasi total itu semakin jauh dari harapan. Bahkan cita-cita reformasi lambat laun semakin hilang dihati penggerak reformasi yang kini menduduki lembaga-lembaga kekuasaan politik.

Pada posisi ini, seharusnya generasi penggerak revolusi demokratik harus berani menarik tegas nilai-nilai kekuasaan politik praktis dengan nilai-nilai kekuasaan politik moralis. Pilihan tegas tersebut adalah mengedepankan gerakan kekuasaan politik moralis. Karena berdiri sebagai gerakan politik nilai moralitas, maka gerakan mahasiswa pun dengan luwes menetapkan sejumlah agenda dan target politik baru yang menghindarkan mereka dari jebakan dan manipulasi kepentingan elite maupun partai politik tertentu.

Melalui pertarungan gagasan yang cukup tajam antar kelompok dan gerakan mahasiswa, pada tahun 2001 secara praktis semua elemen gerakan mahasiswa “bersatu lagi” sebagai gerakan politik nilai, membela dan mengawal revolusi demokrasi dengan memperjuangkan agenda reformasi total yang mereka cita-citakan bahu membahu. Kini, kita semua menyaksikan sinergi gagasan dan kekuatan gerakan mahasiswa “bersatu” memperjuangkan agenda reformasi total atau enam visi reformasi, menolak kenaikan harga BBM dan sembako dan menjadikan KKN orde baru -partai Golkar sebagai musuh bersama (Common Enemy).

Tapi itu semua tidak bertahan lama, karena kekuatan mahasiswa tidak sanggup lagi membendung tawaran kekuasaan politik, yang ditawarkan dari partai-partai baru, bahkan partai golkar itu sendiri. Hingga sampai sekarang, praktis tidak ada lagi kekuatan mahasiswa secara nasional bersatu yang mampu menggoyang kekuasaan politik yang gagal membawa visi reformasi. Dikarenakan polarisasi gerakan mahasiswa itu sendiri yang semakin gamblang berafiliasi menjadi kekuatan politik praktis dari partai-partai politik.

Praktis mahasiswa kehilangan kekuatan dan arah gerakan yang moralis. Bahkan secara gamblang kita bisa mengelompokan komunitas mahasiswa yang menjadi bagian atau berafiliasi dengan partai politik itu sendiri.

Dari situlah kemudian munculah kelemahan kekuatan mahasiswa. Tapi mungkin inilah tahap kedua dari perjuangan mahasiswa, masuk menjadi kekuatan politik, mengambil ruang public dan mencoba masuk dalam system, berusaha keras mendominasi kebijakan public. Persoalanya kemudian, seberapa kuat mentalitas mahasiswa didalam system yang bobrok ini. Pemilu 1999 sudah cukup banyak aktivis mahasiswa yang menjadi bagian dari system, melalui DPR. DPRD I maupun DPRD II. Sampai sekarang tidak nampak keberhasilan infiltrasi mahasiswa terhadap pengambil kebijakan, bahkan lebih cenderung, mantan aktivis reformasi menjadi legitimasi kebijakan yang bobrok itu sendiri.

B. Kegamangan pada Orientasi Gerakan

Kegamangan gerakan mahasiswa itu nampak pada orientasi pasca gerakan 1998. Sebuah pilihan gerakan yang terkondisikan pada zamanya yaitu Gerakan Politik Nilai VS Gerakan Politik Kekuasaan. Semuanya memaksakan diri dan meninggalkan orientasi gerakan moral.

Walaupun, Hariman Siregar (Mantan Ketua BEM UI 1974, tokoh peristiwa Malari) dalam bukunya ‘Gerakan Mahasiswa, Pilar ke 5 Demokrasi’ bersikukuh bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan bukan gerakan politik. Kalau sampai gerakan mahasiswa melakukan pergerakan politik, berarti dia telah keluar dari jati dirinya. Oleh karena itu beliau tidak bersepakat dengan gerakan mahasiswa yang bermain di tataran politik seperti menuntut mundur seorang presiden.

Hal yang berbeda disampaikan Adian Napitupulu (Mantan Aktivis Forkot yang dari 1998 hingga sekarang menuntut Presiden mundur yang terbukti gagal membawa visi reformasi), beliau berpendapat Gerakan Mahasiswa justru merupakan gerakan politik dan tidak perlu takut untuk menegaskan gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik ekstra parlementer. Gerakan mahasiswa memiliki tanggung jawab secara politis atas bangsanya yang sedang dalam sakaratul maut, dan mereka dituntut untuk melakukan gerakan politik secara aktif dan masif.

Sebenarnya, ada titik temu di antara dua aliran di atas karena kedua-duanya juga meyakini gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang universal. Perbedaan terjadi berkaitan dengan gerakan politik yang dilakukan mahasiswa. Apakah itu sesuai dengan jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa?

Perbedaan pandangan di atas menyebabkan mahasiswa terpolarisasi dalam dua kutub yang berlawanan. Karena itu kita perlu melakukan redefinisi paradigma baru pergerakan mahasiswa dalam rangka rekonstruksi jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa Indonesia, dan sebagai upaya rekonsiliasi antar kubu sekaligus langkah awal konsolidasi pergerakan mahasiswa Indonesia yang hari ini terkotak-kotak.

Kalau kita menganalisis secara jujur, aktifitas pergerakan mahasiswa seperti demonstrasi, orasi, seminar, kongres, pernyataan sikap, tuntutan dan lain-lain, sebenarnya merupakan aktifitas politik. Semua itu merupakan sarana komunikasi politik lisan dan tulisan. Jadi secara jujur tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan politik. Namun, gerakan politik seperti apakah yang layak dimainkan pergerakan mahasiswa? Apa yang membedakannya dengan partai politik?

Ada konsep menarik yang akhir-akhir ini mencuat dan Saya melihatnya sebagai alternatif yang cerdas. Hal ini berkaitan dengan mencuatnya konsep Gerakan Politik Nilai (value political movement) dan Gerakan Politik Kekuasaan (power political movement).

Gerakan Politik Nilai (value political movement) adalah gerakan yang berorientasi terciptanya nilai-nilai ideal kebenaran, keadilan, humanisme (kemanusiaan), profesionalitas dan intelektualitas dalam seluruh aspek pengelolaan negara. Sedangkan gerakan politik kekuasaan (power political movement) merupakan gerakan politik untuk mencapai kekuasaan seperti yang dilakukan oleh partai-partai politik.

Gerakan mahasiswa sebagai gerakan Politik Nilai (value political movement) ini tidak mempedulikan siapa yang berkuasa, karena siapa pun yang berkuasa akan menjadi sasaran tembak ketika melakukan penyimpangan. Ia tidak berkepentingan mendukung seseorang untuk menjadi penguasa, tapi siapa pun penguasa yang otoriter akan berhadapan dengan gerakan mahasiswa.

Hal tersebut jelas berbeda dengan ketika gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik kekuasaan (power political movement), karena ia sangat mempedulikan siapa yang berkuasa dan senantiasa berusaha merebut kekuasaan itu, atau berusaha terus mempertahankan kekuasaan itu ketika ia menjadi penguasa atau membela organisasi/partai yang menjadi patronnya ketika menjadi penguasa.

Gerakan politik nilai mahasiwa bersifat independen, tidak mendukung calon penguasa dan tidak masuk ke dalam sistem pemerintahan atas nama pergerakan mahasiswa, karena dengan demikian fungsi controlnya hilang, selain itu ada tugas utama mahasiswa yang akan terbengkalai, yakni belajar. Namun, ketika secara nilai Gerakan ini lebih memainkan fungsinya sebagai social control dan social pressure terhadap kekuasaan. Kalaupun gerakan menukik menjadi tuntutan mundur penguasa, itu didasari standar nilai yang jelas bahwa pemerintah sudah tak mampu dan bukan dalam rangka menaikkan seseorang menjadi penggantinya.

Gerakan politik kekuasaan biasanya tidak independen karena kepentingannya sempit: kekuasaan. Jika gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik kekuasaan, maka bukan merupakan hal yang tabu untuk mengatasnamakan aktifis gerakan mahasiswa dalam rangka mendukung calon penguasa (seperti yang dilakukan Rico Marbun dkk dengan terang-terangan mendukung Jenderal Wiranto dari Partai Golkar sebagai calon Presiden dalam pemilu 2004), atau masuk ke dalam sistem (seperti para penganut “junta muda mahasiswa”, dan seperti aktifis mahasiswa di awal orde baru yang menjadi anggota parlemen atas nama perwakilan mahasiswa), atau membela penguasa/partai yang merupakan patronnya (seperti CGMI yang membela PKI di tahun 1966).

Saya sepakat dengan pandangan gerakan mahasiswa selain sebagai gerakan moral, juga merupakan gerakan politik nilai dan bukan gerakan politik kekuasaan. Gerakan politik kekuasaan merupakan area concern partai politik dan bukan untuk gerakan mahasiswa. Jika ada aktifis mahasiswa yang bermain dalam area tersebut, seharusnya tidak mengatasnamakan gerakan mahasiswa, tapi lebih baik bergabung dalam partai politik. Gerakan politik nilai memang bersentuhan dengan aktifitas-aktifitas politik, menggunakan berbagai sarana komunikasi politik, dan memiliki target-target politik, tapi bukan berkaitan dengan perebutan kekuasaan.

Memang dengan demikian, gerakan mahasiswa akan tampak seperti koboy pahlawan yang datang ke kota untuk memberantas bandit-bandit dan penjahat. Setelah bandit-bandit itu kalah, Sang Koboy kembali pulang ke padang rumput. Mahasiswa akan turun ketika menyaksikan rakyat terdzalimi oleh bandit-bandit penguasa dan kembali ke kampus untuk belajar setelah rezim itu “dihajar” dan diberi pelajaran.

Lalu, bagaimana sesudah itu? Siapa yang akan memimpin kota sepeninggal sang Koboy? Siapa yang akan memimpin negeri setelah Sang diktator turun?. Di sinilah rumitnya. Yang pasti itu bukan tugas sang Koboy muda, ia masih harus belajar sehingga suatu saat nanti sampai masanya dia memimpin kota. Itu bukan tugas gerakan mahasiswa, ia masih punya tugas akademis dan pembelajaran kaderisasi kepemimpinan di kampus yang menjadikannya siap untuk suatu saat menjadi para pemimpin masyarakat yang memiliki konsistensi idealisme seperti ketika masih di kampus.

Masalah kekuasaan lebih merupakan tugas partai politik. Gerakan mahasiswa hanya bertanggung jawab mengontrol dan mengawal transisi dan developmentasi demokrasi supaya tetap pada relnya, terlepas dari siapa yang berkuasa. Dalam pelaksanaannya bukan merupakan hal yang tidak mungkin untuk berkordinasi dengan partai politik, LSM dll ketika lembaga-lembaga tersebut menjunjung nilai-nilai moral universal seperti gerakan mahasiswa.

Meskipun demikian, ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan menggelitik. Mungkinkah terjadi suatu kondisi luar biasa memaksa keterlibatan mahasiswa untuk terjun menjadi para pemimpin negara? Menurut Saya mungkin-mungkin saja, hanya mereka harus siap dengan konsekuensi seperti yang disampaikan Imam Syafi’I : “Apabila orang muda terlalu cepat tampil menjadi pemimpin, maka ia akan kehilangan banyak waktu untuk ilmu!”. Meskipun demikian, bukan hal yang mustahil seorang muda mengakselerasi kematangannya melalui tradisi ilmiah dan pergolakan social yang kental.

Tugas inti kita sekarang, bagaimana mengoptimalkan keseluruhan peran dan fungsi kita sebagai mahasiswa. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi intelektual akademisi, fungsi cadangan masa depan (iron stock), fungsi agen perubah (agent of change) dll. Kata kuncinya adalah menjadi pembelajar sejati, sehingga mahasiswa mampu memiliki kedewasaan yang jauh meninggalkan umurnya dan pandangan-pandangan yang jauh meninggalkan zamannya. Sehingga kita senantiasa siap memenuhi panggilan kehidupan untuk menoreh sejarah kepahlawanan sebagai pemimpin sejat

Tidak ada komentar: